Urgensi Pemekaran Kepulauan Nias: Kebutuhan Warga atau Ambisi Elit?

Gunungsitoli, 20 November 2024 Mahasiswa Magister Ilmu Politik dan Pemerintahan, Fisipol, UGM Irene Berta Meida Zalukhu, S.I.P Menanggapi Wacana pemekaran Kepulauan Nias menjadi provinsi baru kembali menjadi perbincangan hangat. Legislator asal Nias, Marinus Gea, dalam berbagai kesempatan menyebut bahwa secara administratif dan geografis, Nias telah memenuhi syarat menjadi provinsi baru sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Namun, di balik argumentasi ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah pemekaran ini benar-benar kebutuhan mendesak bagi masyarakat Kepulauan Nias atau sekadar cerminan ambisi elit politik?

 

Menelaah Potensi yang Belum Tergali?

Kepulauan Nias memiliki potensi luar biasa dari segi sumber daya alam dan budaya. Pariwisata menjadi salah satu sektor unggulan, dengan Pantai Sorake dan Pantai Turedawola yang terkenal di kalangan wisatawan internasional, terutama peselancar. Tradisi budaya seperti fahombo (lompat batu) dan rumah adat Nias juga menawarkan daya tarik unik yang dapat dioptimalkan sebagai aset pariwisata budaya.

Baca Juga:  Jukir Nakal Minta Rp10 Ribu ke Pengendara Diamankan Petugas

 

Secara administratif, dengan lima kabupaten/kota dan populasi lebih dari 800.000 jiwa, Kepulauan Nias telah memenuhi syarat untuk menjadi provinsi. Namun, di balik potensi tersebut, ada kenyataan yang tidak bisa diabaikan: infrastruktur dasar masih tertinggal. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rasio elektrifikasi hanya mencapai 75% pada 2022, jauh di bawah rata-rata nasional. Jalan antarwilayah masih minim dan kualitasnya buruk, menghambat konektivitas ekonomi dan sosial. Dalam konteks ini, pemekaran hanya akan  efektif jika disertai pembangunan infrastruktur yang masif dan merata.

 

 

Dimensi Politik dan Representasi

Pemekaran sering kali digadang-gadang sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Namun, sejarah di Indonesia menunjukkan bahwa pemekaran juga sering menjadi alat politik untuk menciptakan jabatan baru bagi elit lokal. Risiko ini juga membayangi Kepulauan Nias.

Baca Juga:  Mahasiswi ULB Akhiri Magang, Ucapkan Terima Kasih Pada Jajaran Dinas Kominfotiks Rohil

 

Sosialisasi mengenai manfaat dan risiko pemekaran sejauh ini minim. Banyak masyarakat Nias merasa bahwa kebijakan yang ada cenderung melayani agenda politik segelintir pihak dibanding kebutuhan mereka. Dalam banyak kasus, kebijakan yang tidak inklusif ini justru menciptakan ketimpangan baru alih-alih memperbaiki keadaan.

 

Pemekaran: Peluang atau Beban Baru?

 

Potensi pemekaran untuk mempercepat pembangunan memang besar. Sebagai provinsi baru, Kepulauan Nias bisa mendapatkan alokasi anggaran yang lebih besar dari pemerintah pusat. Namun, pemekaran tanpa perencanaan matang bisa menjadi beban baru bagi pemerintah pusat dan masyarakat lokal.

 

Baca Juga:  Quick Count Menangkan Nomor 02, Gus Haris Serukan Kebersamaan

Marinus Gea benar bahwa sektor pariwisata dapat menjadi motor penggerak pembangunan. Tetapi, tanpa investasi besar di bidang infrastruktur dan promosi, pemekaran hanya akan menjadi langkah simbolis tanpa dampak signifikan.

 

 

Sebagai putri Kepulauan Nias, saya melihat bahwa pemekaran memiliki peluang besar untuk membawa perubahan. Namun, peluang ini hanya akan terwujud jika seluruh pihak bekerja sama memastikan bahwa kebutuhan masyarakat menjadi prioritas utama, bukan sekadar memenuhi ambisi politik.

 

Pemekaran tidak boleh hanya menjadi simbol status administratif. Perlu ada jaminan bahwa ini adalah langkah strategis yang benar-benar mengubah wajah Kepulauan Nias menjadi lebih maju, inklusif, dan sejahtera bagi seluruh warganya. Jika tidak, wacana ini hanya akan menjadi harapan kosong yang melukai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan para pemimpinnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *