Setiap fenomena alam dalam primbon memiliki makna tersendiri, termasuk gempa bumi. Kejadian alam yang mengguncang bumi ini bukan hanya dianggap sebagai peristiwa fisik, melainkan juga sebagai simbol atau pertanda dari sesuatu yang akan terjadi.
Hari Kamis dalam primbon Jawa memiliki nilai simbolis yang mendalam. Dihubungkan dengan elemen “Angin” dan dipengaruhi oleh planet “Jupiter (Guru),” Kamis mewakili kekuatan besar, pengaruh luas, dan perubahan signifikan. Elemen angin sering diasosiasikan dengan pergerakan dan ketidakstabilan, yang bisa mengguncang tatanan yang ada. Oleh karena itu, gempa bumi pada hari Kamis dianggap lebih dari sekadar kejadian alam; bisa jadi merupakan isyarat alam terutama tentang situasi politik di Indonesia saat ini.
Dalam konteks ini, gempa bumi pada hari Kamis sering dianggap sebagai pertanda adanya perubahan besar yang akan mengguncang masyarakat atau struktur politik. Perubahan ini bisa berupa pergantian kepemimpinan atau krisis politik. Hari Kamis, yang berkaitan dengan kekuatan Jupiter—planet yang dalam mitologi dan astrologi dianggap sebagai penguasa para dewa dan pembawa kebijaksanaan serta perubahan besar—menambah dimensi makna dari gempa yang terjadi pada hari ini. Bisa dipahami sebagai panggilan untuk introspeksi.
Tanggal 22, ketika gempa bumi terjadi, memiliki simbolis khusus dalam primbon. Angka ini mencerminkan dualitas dan interaksi antara dua entitas. Dalam konteks gempa bumi pada tanggal 22, bisa diartikan bahwa perubahan yang akan datang tidak akan terjadi dalam isolasi; mereka akan melibatkan lebih dari satu pihak, yang mungkin melalui konflik dari perpaduan kekuatan dahsyat.
Ini bukan hanya peristiwa alam yang mengguncang bumi, tetapi juga sebuah pertanda tentang perubahan besar yang akan datang. Masyarakat Jawa yang percaya pada primbon mungkin akan melihat peristiwa ini sebagai panggilan untuk bersiap menghadapi perubahan dalam struktur transisi kepemimpinan Jokowi ke Prabowo.
Perubahan besar yang diprediksi dalam primbon Jawa dapat dikaitkan dengan ketegangan dalam proses politik, seperti yang terlihat dalam kisruh ambang batas dan usia pencalonan Pilkada. Pada 20 Mei 2024, Partai Buruh dan Partai Gelora menggugat ambang batas pencalonan Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Agung (MA) menafsirkan batas usia calon kepala daerah dengan cara tertentu, berbeda dengan keputusan MK yang kemudian mengabulkan gugatan pada 20 Agustus 2024. Keputusan MK ini, yang mengizinkan pencalonan kepala daerah dengan ambang batas yang lebih rendah, kemudian dipertentangkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR yang mengusulkan perubahan kembali.
Krisis politik mencapai puncaknya pada 22 Agustus 2024, ketika sidang paripurna untuk mengesahkan RUU Pilkada ditunda akibat protes massa, demo terjadi di depan gedung DPR RI juga di berbagai daerah, menolak perubahan yang diusulkan oleh Baleg DPR. Situasi ini menggarisbawahi ketidakstabilan dan ketidaksepakatan dalam sistem politik kita, yang mementingkan segelintir kekuasaan dalam hal ini Kaesang Pangarep
Kritik terhadap DPR RI menjadi relevan. Keputusan yang sering berubah-ubah dan ketidakmampuan untuk menyelesaikan isu-isu penting seperti ambang batas pencalonan Pilkada menunjukkan kurangnya konsistensi dan kepemimpinan yang efektif, bisa jadi hanya mengutamakan putra bungsu Jokowi Dodo. DPR RI perlu mempertimbangkan dampak dari keputusan mereka terhadap stabilitas politik.
Gempa bumi sebagai simbol mengguncang stabilitas politik yang penuh ketegangan ini mungkin merupakan cerminan dari pesan tersebut, dalam pengelolaan sistem cara bernegara, maka suara rakyat harus direspons dengan jernih sebagai fungsi kontrol terhadap kekuasaan terutama DPR RI dan Presiden. Pengambil kebijakan perlu menyadari bahwa aksi demo dan kritik yang terjadi adalah sinyal untuk menyehatkan sistem demokrasi kita
Barangkali hal ini merupakan cerminan dari dinamika politik saat ini, dalam kerangka primbon, tidak ada peristiwa yang terjadi tanpa alasan, dan gempa bumi ini dapat di tafsirkan sebagai pesan dari alam semesta yang harus direnungkan dan direspons dengan bijaksana oleh DPR RI dan Presiden.
Wallahua’lam