Sorotnews24.com ll Pekanbaru – Rancangan Revisi Undang- Undang Penyiaran belakangan ini menjadi topik hangat yang sering dibicarakan. Beberapa pasal yang ada di dalam draft revisi UU tersebut dianggap mengancam kebebasan pers dalam menyebarkan informasi.
Pekerja pers maupun content creator menyuarakan ketidaksetujuannya baik melalui demo ataupun di media sosial terhadap revisi UU yang telah dibuat oleh DPR.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa revisi UU tersebut dianggap kontroversial? (dikutip dari laman Detiknews.com, pada Minggu, 23/6/2024).
Revisi UU ini dirancang dengan tujuan untuk memperbarui undang-undang yang mengatur sektor penyiaran di Indonesia. Namun memicu kontroversi terkait keseimbangan antara regulasi dan kebebasan pers. Adapun pasal-pasal yang dianggap membatasi kebebasan pers dan jurnalisme, yaitu:
Pasal 34 F ayat (2) huruf E yang mewajibkan penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya untuk memverifikasi konten siaran mereka ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Penyelenggara yang dimaksud termasuk kreator yang mengunggah konten di Youtube, TikTok, atau media berbasis user generated content (UGC) lainnya.
Pasal 50 B ayat (2) huruf C yang menyatakan larangan atas “Penayangan Eksklusif Jurnalistik Investigasi”. Larangan ini dikhawatirkan dapat membatasi kebebasan dan kemerdekaan pers.
Pasal 50 B ayat (2) huruf K yang mengatur larangan terkait tindak pencemaran nama baik dan siaran yang mengandung penghinaan. Pasal tersebut dianggap sebagai pasal karet dan akan membatasi kebebasan pers. Adapun bunyi dari pasal tersebut: Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Selain dari ketiga pasal yang sudah disebutkan, masih terdapat banyak pasal lagi yang dianggap kontroversial dan harus dikaji lebih dalam lagi. Dengan adanya revisi UU Penyiaran ini akan memberikan ancaman bagi content creator untuk berkarya ataupun pers untuk memberikan informasi yang sesuai dengan faktanya.
Lalu, apakah ini menjadi salah satu agenda pemerintah untuk membungkam pers terhadap apa yang sebenarnya terjadi atau menjadi filter informasi bagi masyarakat?
Antara Regulasi dan Kebebasan
Apabila dilihat dari kedua sisi antara regulasi dan kebebasan pers, hal ini akan menjadi dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, penting untuk mengakui bahwa regulasi dalam penyiaran memiliki peran penting.
Penyiaran adalah salah satu sarana utama yang digunakan untuk menyampaikan informasi kepada publik, sehingga kontennya harus memenuhi standar tertentu.
Regulasi yang ketat diperlukan untuk memastikan bahwa informasi yang disiarkan dapat dipertanggungjawabkan, tidak memicu kebencian, diskriminasi, atau kekerasan, dan menjaga moralitas serta budaya bangsa.
Dalam hal ini, regulasi dapat bertindak sebagai pelindung kepentingan publik.
Di sisi lain, kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi. Tanpa kebebasan ini, media tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan (watchdog) terhadap pemerintah dan institusi lainnya.
Pers yang bebas adalah salah satu mekanisme penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan serta menyuarakan berbagai pandangan dalam masyarakat. Pembatasan yang berlebihan terhadap kebebasan pers dapat mengarah pada otoritarianisme dan pengekangan terhadap hak-hak dasar warga negara
Pembahasan revisi UU Penyiaran masih berlangsung dan diharapkan akan selesai sebelum 30 September 2024. Namun, berbagai organisasi jurnalis dan komunitas pers menuntut agar proses ini dihentikan dan rancangan ini tidak disahkan menjadi undang-undang.
Kritik terhadap Revisi UU Penyiaran tidak hanya berfokus pada kebebasan pers, tetapi juga pada kewenangan yang diberikan kepada KPI. KPI akan mendapatkan wewenang tambahan untuk menentukan kelayakan konten di platform-platform digital, yang dapat berpotensi mengekang keragaman konten dan berkurangnya kualitas informasi yang disajikan kepada masyarakat.
Dalam beberapa langkah, Revisi UU Penyiaran harus dihentikan dan drafnya harus disusun kembali dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi profesi jurnalis dan komunitas pers. Hanya dengan demikian, rancangan ini dapat menjadi undang-undang yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.
Pencarian keseimbangan antara regulasi dan kebebasan pers menjadi tantangan utama. Para pembuat kebijakan perlu mendengarkan masukan dari berbagai pihak, termasuk jurnalis, akademisi, dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan tidak hanya efektif dalam mengatur industri penyiaran, tetapi juga tetap menghormati prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers.
Diskusi publik dan konsultasi yang lebih mendalam mungkin diperlukan untuk mencapai konsensus yang dapat diterima semua pihak. Hanya dengan cara ini, regulasi yang dihasilkan dapat benar-benar memberikan manfaat bagi perkembangan industri penyiaran dan demokrasi di Indonesia.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia perlu memastikan bahwa regulasi yang dibuat tidak memberangus kebebasan berekspresi, namun tetap mampu menjaga integritas dan kualitas informasi yang diterima oleh publik. Kontroversi Revisi UU Penyiaran ini menegaskan pentingnya dialog dan keterbukaan dalam proses legislasi demi kepentingan bersama.
Jekson, S.H
Sumber: Media Online Detiknews.com