Pemberian jatah Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan oleh pemerintah masih menjadi tanda tanya.
Dengan munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 30 Mei 2024, ormas keagamaan memungkinkan untuk mendapatkan WIUPK yang bersifat prioritas.
Tentunya tindakan ini menimbulkan beberapa pertanyaan kritis. Pertama, apakah ormas keagamaan memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sesuai untuk mengelola WIUPK? Kedua, apakah ormas keagamaan memiliki rencana yang jelas dan efektif untuk mengelola tambang secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan? Ketiga, apakah pemerintah telah melakukan evaluasi yang cermat terhadap ormas, kira-kira mereka bisa mengelola secara profesional sehingga potensi dampak yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan tambang tersebut terhadap lingkungan dapat teratasi dengan baik?
Dalam beberapa tahun terakhir, ormas keagamaan telah menunjukkan keterlibatan yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan kemasyarakatan. Namun, keterlibatan ini tidak berarti bahwa mereka memiliki kualifikasi yang sesuai untuk mengelola WIUPK. Tambang adalah kegiatan yang kompleks dan memerlukan teknologi serta sumber daya yang besar, juga membutuhkan perencanaan yang jelas dan efektif untuk mengelola dampak lingkungan dan sosial.
Selain itu, pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan juga dapat menimbulkan konflik kepentingan dan korupsi. Ormas keagamaan dapat menggunakan WIUPK untuk kepentingan pribadi atau organisasi, sehingga dapat menimbulkan korupsi dan nepotisme.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami berbagai masalah lingkungan dan sosial yang terkait dengan kegiatan tambang. Contohnya, kegiatan tambang telah menimbulkan pencemaran udara dan air, serta mengganggu kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih besar lagi.
Barangkali pemerintah berharap tambang yang dikelola oleh ormas keagamaan akan mendatangkan “berkah” alih-alih bencana. Tapi mari kita bayangkan, apakah dalil-dalil keagamaan dapat menggantikan teknologi canggih dan keahlian teknis dalam mengelola tambang? Atau jangan-jangan, batu bara yang diekstraksi justru menjadi arang untuk memanggang harapan masyarakat mencemari lingkungan yang bersih.
Betapa indahnya jika tambang bisa dikelola dengan iman dan takwa. Namun sayangnya, tambang tidak bisa dijalankan hanya dengan niat baik. Diperlukan kompetensi dan pengetahuan khusus, siapa tahu solusinya bisa ditemukan di balik tempe
Ini hanya candaan saja ya. Bisa jadi pemerintah berharap menciptakan “ekonomi berbasis iman,” tetapi kita perlu ingat bahwa tambang bukanlah tempat ibadah yang bisa dikelola dengan sumbangan hati nurani yang ikhlas. Jika tidak berhati-hati, alih-alih berkah, justru menjadi ladang orang yang suci menjadi serakah.