sumber gambar alif.id & Dokpri Gus Ulil (Ilustrasi: Beritagar)
SOROTNEWS24.COM – Saya baru saja mendapatkan kiriman buku tentang Emha Ainun Nadjib. Saya tidak tahu siapa yang mengirimkan buku ini kepada saya. Mungkin yang mengirim adalah penulisnya sendiri. Jika benar, terima kasih kepada dr. Ade Hashman.
Saya melacak kembali alamat pengirimnya melalui buntalan paket, tetapi tidak berhasil, sebab buntalan paket sudah dibuang oleh orang rumah. Kesalahan saya sendiri tidak segera mencatat pengirimnya saat membuka paket.
Saya menulis posting ini untuk sekadar mengucapkan terima kasih kepada siapa pun yang telah mengirim buku ini. Pagi ini saya mulai membaca buku ini dan saya amat menikmatinya. Ada dua hal yang perlu saya garis bawahi tentang buku ini.
PERTAMA: Dari segi isi. Buku ini adalah “refleksi” yang dituangkan oleh penulisnya, dr. Ade Hashman, seorang dokter anestesi yang bertugas di Kalimantan Timur, tentang kiprah Emha dalam bidang penyebaran nilai-nilai kebaikan melalui forum Maiyah—forum yang sudah berlangsung selama kurang lebih dua dekade. Tetapi karena penulisnya adalah seorang dokter, maka ia mencoba mengaitkan pikiran-pikiran Emha dengan isu-isu kesehatan, terutama tentang bagaimana hidup sehat. Saya sangat menikmati penjelajahan isu kesehatan dikaitkan dengan “ajaran-ajaran” (jika boleh memakai istilah ini) Emha.
Saya kenal Emha sudah sejak lama. Saya mengenalnya sejak ia masih menjadi kolumnis di majalah Tempo pada dekade 80-an. Saya mengikuti gagasan-gagasannya dulu tentang “sastra independen”. Saya menikmati bukunya yang berjudul “Slilit Sang Kiai”. Tetapi saya bukan santri Maiyah. Saya pernah menghadiri forum Kenduri Cinta, tetapi hanya sekali saja. Saya juga tidak mengikuti secara dekat kiprah Emha dalam beberapa tahun terakhir.
Tetapi saya punya “hubungan khusus” dengan Emha. Tidak langsung, melainkan melalui mertua saya, Gus Mus. Saat saya menikah pada 1997, Emha menyumbangkan sesuatu yang amat istimewa, yaitu konser KiaiKanjeng. Konser itu, tentu saja, menimbulkan keheranan. Kok ada seorang kiai mantu dan nanggap musik. Opo tumon? Bahkan ada seorang kiai “muda” di Rembang yang menulis surat protes langsung kepada Gus Mus perihal konser ini.
Sumbangan konser untuk pernikahan saya ini jelas bukan karena saya istimewa di mata Emha. Sama sekali tidak. Tetapi ini sumbangan Emha untuk Gus Mus yang mantu untuk pertama kali. Saya ingin menghaturkan terima kasih kepada Emha atas keberkahan ini.
Banyak pihak yang “kurang suka” pada Emha. Salah satunya karena anggapan bahwa Emha “berdakwah” tidak melalui “pakem kitab”, tetapi hanya modal “ngomong” dan “ngarang-ngarang” saja. Sebagian teman saya ada yang mengemukakan catatan seperti ini. Tetapi saya kurang setuju. Emha, bagi saya, telah menyumbangkan hal penting dalam dakwah Islam dan kebaikan di Indonesia.
Memang Emha dakwah tidak dengan kitab atau “pakem tertulis” tertentu. Tapi, bagi saya, dakwah bisa ditempuh dengan berbagai cara. Emha telah menanamkan kesadaran Ketuhanan pada peserta Maiyah. Dari kesadaran ini lalu tumbuh kesadaran lain tentang bagaimana hidup menjadi manusia yang baik. Bukankah pokok dakwah Islam ada di sana: mencetak manusia yang baik?
Energi Emha untuk konsisten menebarkan kebaikan dengan keliling (menurut buku ini) ke 4.030 tempat di seluruh Nusantara, plus tempat-tempat lain di berbagai negara, jelas amat mengagumkan. Ribuan anak muda telah menimba inspirasi kebaikan dari dakwah Emha ini. Tentu ini sesuatu yang luar biasa. Apa yang menggerakkan Emha melakukan ini semua? Acara-acara dia tidak diliput media massa, tidak menjadi sorotan TV, dan tidak “digubris” oleh para “punggawa agama”. Tetapi dia jalan terus.
Pasti ada sesuatu yang “otentik” di luar “itung-itungan” untung rugi yang telah menggerakkan Emha. Melalui buku ini, saya belajar tentang nilai yang amat penting yang diajarkan Emha: jangan mengultuskan siapa pun, entah kiai, ulama, atau Emha sekalipun. Bahkan Emha, seperti dikutip buku ini, akan “menonyo” (ini bahasa khas Jawa Timuran dan Jawa Tengah pantura; artinya: memukul) siapa pun yang mengultuskan dirinya (maksudnya: Emha).
Ajaran tentang bahaya kultus individu ini perlu disuarakan saat ini. Kita boleh menghormati seseorang, termasuk kiai. Kita boleh, bahkan sudah selayaknya mencium tangan kiai. Tetapi mengultuskan kiai, jangan sekali-sekali. Tanda pengultusan adalah: mengikuti apa pun kata kiai tanpa sikap kritis. Mengkritik kiai, tetapi dengan adab, jelas boleh-boleh saja. Ulama besar di masa lampau banyak yang berbeda pendapat dengan guru-guru mereka. Ndak soal.
Berpikir kritis dan independen perlu dikembangkan di tengah umat Islam. Ini salah satu nilai yang diajarkan Emha, sebagaimana saya baca melalui buku ini. Emha tidak mau menjadi penghalang bagi perjalanan seseorang menemukan “dirinya yang otentik” menuju Allah. Ini ajaran yang sangat baik.
Saat ini Emha masih sakit. Saya sudah pernah sekali membesuknya, walau tidak bertemu langsung. Saya ditemui istrinya, Mbak Novia Kolopaking. Kita doakan semoga Emha segera sembuh, membaik, dan sehat kembali.
KEDUA: Hal lain yang saya apresiasi dari buku ini adalah aspek penulisan, pengeditan, dan penerbitannya. Buku ini ditulis dengan bahasa Indonesia yang amat baik, tertib, dengan ungkapan-ungkapan (uslub) yang tetap memikat. Saya senang sekali ada seorang dokter yang bisa menulis dengan bahasa Indonesia yang baik seperti ini. Teman-teman yang biasa mengikuti unggahan saya di FB atau Twitter pasti tahu saya kerap “sewot” karena kemampuan berbahasa generasi sekarang begitu merosot.
Saya mendapatkan kesan, seolah-olah bangsa ini tidak menghormati bahasa Indonesia, bahasa kebanggaan sendiri. Lihatlah gejala sederhana. Di mana-mana orang menulis “DIKONTRAKAN” dengan satu K saja (mestinya: DIKONTRAKKAN). Di mana-mana orang menulis awalan “di” terpisah dari kata kerja sesudahnya. Misalnya: DI DAFTARKAN (mestinya: DIDAFTARKAN). Instansi pemerintah pun sering menormalkan perangai berbahasa yang buruk seperti ini. Bahkan saya kerap menjumpai perangai serupa pada disertasi atau tesis. Subhanallah!
Pengeditan: Buku ini diedit dengan baik sekali. Tandanya sederhana saja. Tak ada typo; tak ada kalimat yang tidak beres dari segi aturan sederhana: subjek-predikat. Ini tanda penerbit buku ini, yaitu Bentang, menerbitkan buku dengan penuh tanggung jawab. Hal kecil ini perlu saya kemukakan. Sebab di era ketika menerbitkan buku begitu mudah seperti sekarang (siapa saja, saat ini, bisa menjadi penerbit buku), saya kerap menjumpai buku yang sudah dijual di pasaran, termasuk novel, tetapi penuh sesak dengan typo dan kalimat yang salah dari segi aturan berbahasa yang sederhana. Saya kerap ingin membanting buku-buku seperti itu.
Terima kasih kepada Bentang yang telah menerbitkan buku dengan baik. Terima kasih kepada dr. Ade Hashman yang telah menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan mudah dipahami.